Kacamata

Aaaaaa rasanya sudah lama sekali ga membagikan cerita di blog ini. Antara terlalu sibuk atau memang terlalu malas menulis lagi hehehe. Ga terasa udah di akhir semester 6, rasanya baru kemarin ngepost di blog ini dengan judul FIKOM UNPAD :D. Kalo kata orang-orang yang suka ngasih quote di Twitter sih "Time flies so fast". And it's totally true! 

Barusan abis menjelajah di folder SMA sambil merenungi umur yang tak terasa sudah 20 hmmmm.... dan tak sengaja menemukan cerpen berjudul "Kacamata" yang dulu dibuat khusus untuk tugas bahasa Indonesia. Buka kartu sedikit asal-usul kenapa kasih judulnya kacamata sebenarnya  karena waktu itu contoh cerpen di buku paket bahasa Indonesia judulnya mesin cuci -_- ga tau juga korelasinya di mana yang pasti waktu itu mendapat inspirasi untuk menulis tentang benda juga. Berhubung dulu pas jaman-jaman SMA lagi terobesesi sama kacamata (karena dulu menganggap orang yang pake kacamata itu keren) jadilah cerpen ini berjudul kacamata -_- yasudahlaaaaah.

Sudah tidak sabar membaca cerpen satu-satunya yang pernah ditulis oleh seorang Jessica? Baiklah selamat membaca!!!

****

Kacamata


              Pagi itu aku merasa ada yang berbeda ketika aku bangun tidur, kepala yang sedikit pusing dan pandangan yang kabur. Mungkin aku kurang tidur setelah menghabiskan 9 episode drama Korea yang baru aku pinjam dari teman semalaman. Ini memang kebiasaanku dalam menghabiskan akhir pekan, menonton sampai puas tanpa mengingat waktu, bisa dibilang itu hiburanku satu-satunya setelah seminggu penuh belajar, belajar, dan belajar di kelas 3 ini.

                Saat pelajaran dimulai aku mulai merasa ada yang aneh dengan mataku. Aku tidak bisa membaca semua yang ditulis Bu Ninuk di papan tulis
             “Lo bisa liat tulisan Bu Ninuk di papan tulis?” tanyaku pada Gea teman sebangkuku.
 “Bisa.” jawab Gea keras hingga membangunkan Doni, temanku yang sudah tertidur di jam pertama ini.
“Ah serius? Gua ga bisa liat jelas.” Jawabku sambil mengucek-ngucek mata.
                Itulah awal perkenalanku dengan teman setiaku si kacamata. Dia sudah menjadi kawan suka dan duka sejak aku duduk di kelas 3 SMA hingga di umurku yang ke 25 bulan Juni ini. Bangun tidur bukan sarapan yang aku cari tapi kacamata, setelah mandi bukan handuk yang aku cari tapi kacamata. Kacamata, kacamata,  dan kacamata. Bahkan kacamata sudah menjadi ciri khasku di kantor.
“ Bisa bertemu dengan Ibu Dona?”
“Maaf Ibu Dona yang mana, Pak?”
“Ibu Dona Laura, Kepala HRD yang pakai kacamata itu, Mbak.”
Seperti itulah kelekatan identitasku dengan kacamata. Mungkin banyak orang yang menganggapku menggunakan kacamata sejak aku lahir atau mungkin banyak yang berpikir kacamata adalah salah satu anggota tubuhku sama seperti tangan dan kaki. Mereka sulit mengenaliku kalau aku tidak menggunakan kacamata.
                Suatu pagi aku terlambat berangkat ke kantor, aku menggas mobil seperti supir bus ugal-ugalan yang sering kuumpat di jalan. Saat di perempatan jalan yang kala itu sedang lenggang tanpa sadar aku menerobos lampu merah dan menyetir bak pembalap F1.  Tiba-tiba suara sirine mobil polisi mulai terdengar dari kejauhan. Ya, polisi mengejarku. Orang yang kikuk sepertiku kurang pandai menghadapi situasi seperti ini.
                “Se-se-selamat pagi, Pak!” sapaku pada Pak Polisi dengan muka garangnya.
                “SIM, STNK!” jawabnya ketus.
                “Sebentar Pak, saya ambil kacamata dulu.”
                Karena buru-buru aku lupa menggunakan kacamata dan seingatku hanya kumasukkan ke dalam tas saat bangun tidur. Aku merogoh tas mengambil dompet dan mencari kotak kacamataku sambil berusaha tetap tenang. Tiba-tiba aku terdiam, bukan karena tidak membawa dompet tapi karena aku tidak bisa menemukan kacamata. Dengan senyum terpaksa aku memperlihatkan SIM dan STNK-ku kepada Pak Polisi sambil memberi salam tempel, agar urusannya tidak menjadi panjang. Pak Polisi yang tadi terlihat ketus sekarang jadi senyum-senyum manja dan mempersilakan aku melanjutkan perjalanan. Aku kembali melesat dengan mobil dinasku.
                Sesampainya  di kantor aku merasa sedikit aneh dengan penampilanku hari ini. Ini adalah pengalaman pertamaku beraktivitas tanpa kacamata. Mungkin ini hal yang biasa bagi orang lain tapi adalah hal yang luar biasa bagiku yang telah 10 tahun terbiasa menggunakan kacamata minus 10 dalam setiap aktivitas. Menyetir dan mengenali orang masih bisa kulakukan, tetapi tidak untuk melakukan pekerjaan sehari-hariku yaitu membaca tiap aplikasi lamaran yang aku terima.
                “Mata palsu ketinggalan, Don?” goda Gina asistenku yang merangkap sahabat dan penasihatku.
                “Iya, tadi pagi buru-buru.” jawabku sendu.
                “Hari gini masih ribet urusan sama kacamata, contact lens aja udah last year, kacamata lagi.”
                “Yah, tahu sendiri kacamata tuh udah identitas!” tukasku tajam.
                “Nah itu, ganti imej dong. Gimana kalo lasik? Lagi booming tuh.” kata Gina semangat.
                Kata-kata Gina ada benarnya,  aku memang sering sebal bila orang-orang terlalu mencapku dengan label Donna Laura Si Kacamata. Dengan minus yang besar memang terbatas model frame kacamata yang bisa aku pilih, mengingat lensa yang aku gunakan cukup tebal, itulah yang membuat model kacamataku terlihat sedikit kuno. “Mungkin dengan lasik aku bisa mengubah imej, lagipula bisa lebih praktis, tidak perlu terlalu bergantung dengan kacamata.” ujarku dalam hati.
                “Halo, selamat pagi Rainbow Eye’s center, ada yang bisa Saya bantu?”
                “Selamat pagi, Saya hanya ingin tanya informasi tentang operasi lasik, kira-kira  biayanya berapa ya, Mbak?”
                “Biaya tergantung daya akomodasi mata Ibu sekarang, kalau boleh tahu, Ibu minus atau plus berapa?”
                “Mata kiri minus 10 yang kanan minus 11.”
                “Kalau itu sekitar dua puluh juta belum termasuk perawatan dan baru satu kali lasik, Bu.”
                “Oh memang harus berapa kali dilasiknya?”
                “Itu tergantung mata Ibu juga.”
                Percakapan telepon dengan “Mbak Tergantung” pun  kuakhiri. Dua puluh juta bukan angka yang kecil untukku, belum lagi dengan tambahan biaya perawatan ini itu, juga kalau-kalau aku membutuhkan beberapa kali lasik, entah berapa rupiah yang harus  aku keluarkan hanya untuk masalah mata. Dilema mulai menghampiriku. Terus menggunakan kacamata seumur hidup atau berkorban sedikit tapi  terbebas dari kotak kaca ini. Lasik memang mahal namun sangat membantu untuk kegiatan sehari-hari.
                “Toh uang bisa dicari!” kataku menyemangati diri sendiri.
                Di kantor tanpa sengaja aku mendengar percakapan dua orang karyawan yang hendak makan siang. “Tadi pagi di lobi Gue liat Helmy Yahya yang dulu sering bawa acara kuis itu loh!” ujar salah seorang karyawan.
                “Oh, yang adiknnya Tantowi Yahya kan?”
                “Iya, kemarin Gue liat di infotainment katanya Doi abis dilasik jadi udah ga perlu  pake kacamata lagi, tapi tadi Gue liat dia masih pake kacamata tuh.”
                “Lah apa gunanya? Udah dilasik mahal-mahal masih begitu.”
                “Katanya sih, dia belum biasa gitu ga pake kacamata, ada yang bilang juga operasi lasiknya ga berhasil.”
                “Emang sih operasi mata kayak gitu emang agak berisiko, secara mata kan alat vital, ga boleh sembarangan.”
                Percakapan singkat dua karyawan yang sebenarnya tidak kukenal itu menggoyahkan tekadku yang hampir bulat. Takut adalah alasan klasik yang kupakai untuk menolak menggunakan lensa kontak dan kali ini lasik. Nampaknya kacamata tetap menjadi pilihanku dan mungkin mulai besok aku akan meresmikan kacamata menjadi nama belakangku.

****
Oleh:  Jessica di umur 17 tahun

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setahun di Jatinangor

Miracle :)

It's Okay To Be Not Okay